1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Amnesty International Tuntut Perlindungan Perempuan di Daerah Konflik

4 April 2008

Sejak aksi kekerasan tersistematisasi terhadap perempuan dalam perang Bosnia awal tahun 80-an, Amnesty International mencanangkan perlawanan pada kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik.

https://p.dw.com/p/DcI6
Perempuan dan anak-anak sasaran empuk kekerasan di daerah konflikFoto: AP

Amnesti Internasional menerbitkan laporan dengan tema ini secara teratur, dan menyebarluaskannya ke seluruh dunia. Tujuan mereka, melindungi sebaik mungkin kaum perempuan, anak, remaja dan dewasa, dalam konflik-konflik bersenjata.

Dalam pertemuan di Dewan Senat Paris akhir bulan Maret, Amnesty International mengajukan usulan kongkret dan indikator untuk mengukur apakah perlindungan terhadap kaum perempuan -anak, remaja dan dewasa- betul-betul menjadi perhatian pemerintah di negara yang tengah mengalami konflik bersenjata.

Di Rwanda, selama pembantaian massal yang berlangsung 100 hari di negeri itu, antara 250.000 hingga 500.000 perempuan mengalami penganiayaan. Demikian disebutkan dalam laporan PBB. Di republik Pantai gading, kelompok pemberontak menculik kaum perempuan, menganiaya dan menjadikan mereka budak seks.

Ini hanya dua contoh dari begitu banyak kasus dimana kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh pihak yang terlibat dalam konflik. Baik oleh tentara pemerintah, maupun pemberontak. Dua contoh ini dikemukakan Muriel de Gaudemont, Ketua Komisi Perempuan di Amnesty International seksi Prancis, pada pertemuan di Paris baru-baru ini.

Di manapun terjadi konflik bersenjata, bisa dipastikan di sana meningkat angka tindak kekerasan seksual terhadap perempuan. Alasannya sederhana. Perempuan dianiaya, diperkosa, karena pelakunya bermaksud merendahkan martabat keluarganya dan sukunya. Sebuah tindakan yang juga membuat cemas pihak-pihak yang bertangungjawab di Dewan Keamanan PBB.

Pada Oktober 2000 Dewan Keamanan menetapkan resolusi nomor 1325. Untuk pertama klainya dunia interansional memeprhatikan situasi khusus kaum perempuan dalam konflik bersenjata. Resolusi PBB nomor 1325 menetapkan dua hal. Pertama, perempuan seharusnya diikutsertakan secara luas dalam perundingan perdamaian. Kedua, perempuan yang berada dalam konflik bersenjata seharusnya mendapat perlindungan lebih baik.

Namun sejauh ini, pelaksanaan resolusi itu masih sangat kurang di banyak pemerintahan. Juga karena minimnya kriteria obyektif menyangkut indikator yang bisa diukur untuk mengetahui, apakah sebuah negara betul-betul memperhatikan keamanan warganya yang perempuan.

Kini Amnesty International menyusun daftar berisi indikator semacam itu. Alasannya, karena bulan Juli mendatang Prancis akan memegang kepemimpinan di Uni Eropa selama enam bulan berikutnya. Dalam kurun waktu itu Prancis diharapkan memperkenalkan indikator yang akan menilai berapa banyak negara yang akan berjuang untuk melindungi perempuan remaja dan dewasa di daerah konflik atau untuk membantu perempuan yang menjadi korban.

Dengan daftar itu, organisasi hak asasi Amnesty Internasional kini melobi pemerintah Prancis. Claire Fourcans dari Komisi Perempuan di Amnesty International seksi Prancis menerangkan:

"Ketika kami membaca ulang semua laporan yang kami terbitkan selama ini tentang kekerasan terhadap perempuan dalam konflik bersenjata, ada dua hal yang menjadi jelas. Dua hal ini paling penting bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Pertama, tindak kekerasan semacam itu tetap tidak terkena hukuman, sampai sekarang. Yang kedua mencakup akses ke semua layanan kesehatan bagi perempuan yang menjadi korban. karena itu, daftar indikator yang kami ajukan berkisar seputar dua hal ini."

Daftar Amnesti Interansional memuat 34 indikator terkait dua hal itu. Angka yang kongkret bisa dihitung misalnya, berapa banyak tentara yang dituduh juga melakukan kekerasan seksual? Atau, seberapa besar pos dalam anggaran negara untuk membantu korban kekeresan seksual, di bidang ekonomi, sosial, psikologi atau sektor hukum?

Keterangan semacam itu terutama bisa diinformasikan oleh organisasi non pemerintah. Keterangan tentang apakah sebuah pemerintahan menerapkan resolusi PBB nomor 135, dan jika ya, seberapa luas penerapannya.

Di bidang pelayanan bagi korban, organsiasi hak asasi itu menetapkan indikator seperti: apakah korban emmiliki akses pada layanan medis gratis? Seberapa jauh jarak ke rumah sakit berikutnya? Seberapa besar jumlah perempuan dalam personal medis?

Amnesty International juga memahami halangan terbesar bagi tercapainya perlindungan yang lebih baik untuk perempuan, dan pelayanan terhadap korban, yaitu kemiskinan di negara tempat konflik bersenjata meraja.(rp)