1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Al-Qaida dan Sebuah Buku Kwitansi

1 Januari 2014

Al-Qaida bertahan dan merajalela di berbagai negara berkat birokrasi keuangan yang ketat. Kelompok teror itu beroperasi layaknya perusahaan multinasional, dengan sistem audit dan dewan direksi yang nyinyir.

https://p.dw.com/p/1Ajgg
Foto: picture-alliance/AP

Sebuah konvoi kendaraan berbendera hitam lambang Al-Qaida melesat cepat menghampiri sebuah toko kelontong di pinggiran Timbuktu, Mali. Muhammad Djitteye, sang pemilik yang terkejut menyangka tokonya sedang akan dijarah, tergopoh-gopoh menutup pintu dan bersembunyi di balik lemari kaca.

Djittiye belum menyadari betapa ia telah tertipu. Karena sesaat kemudian, komandan Al-Qaida yang memimpin konvoi dengan santai membuka pintu kaca dan bertanya apakah toko itu menjual saus Moster. Seusai membayar sang komandan meminta kwitansi.

Djittiye yang masih kebingungan terdiam. Komandan itu pun mengulangi permintaannya agar si pemilik toko memberikannya bukti pembelian setara 15 ribu Rupiah.

Transaksi ajaib di utara Mali itu menampilkan sisi yang tidak diduga dari sebuah kelompok teror. Al-Qaida terobsesi mendokumentasikan segala bentuk pengeluaran anggotanya. Lebih dari 100 bon pembelian yang ditinggalkan di Al-Qaida di sebuah gedung di Timbuktu awal tahun lalu mencatat transaksi bernilai kecil sekalipun, pembelian sebuah bohlam misalnya.

1,80 Dollar buat Sabun

Jumlah transaksi yang kebanyakan cuma beberapa Dollar itu tercatat dengan torehan pensil berwarna di atas secarik kertas. 1,80 US Dollar buat sabun mandi, 8 Dollar buat macaroni, 14 buat lem super glue. Semua dokumen sebelumnya telah dinyatakan keasliannya oleh pakar.

Sistem akuntansi rinci dalam dokumen temuan kantor berita Associated Press itu serupa dengan temuan lusinan peneliti di negara-negara yang menjadi markas Al-Qaida, termasuk Afghanistan, Somalia dan Irak.

Dokumen-dokumen yang ditinggalkan Al-Qaida kebanyakan berupa jadwal seminar, daftar upah, anggaran buat sumbangan, aplikasi kerja, berbagai tulisan soal komunikasi masa dan setumpuk surat dari lembaga yang di mata umum berfungsi seperti divisi sumber daya manusia.

Layaknya Perusahaan Multinasional

Temuan-temuan tersebut mengubah pandangan awal tentang Al-Qaida, dari kelompok teror yang bertindak sporadis dan independen di setiap selnya, menjadi organisasi yang beroperasi layaknya perusahaan-perusahaan multinasional dengan kebijakan finansial berspektrum luas lintas sektor.

"Mereka memiliki sistem akuntansi seperti itu, karena sifat bisnis yang mereka lakoni," kata peneliti Brookings Institute, William McCants yang pernah menjabat sebagai penasehat Departemen Anti Teror Amerika Serikat.

"Mereka memiliki beberapa cara untuk mengawasi kegiatan operasional. Untuk mengontrol dan memastikan bawahannya melakukan tugas yang diberikan, Al-Qaida harus menjalankan operasinya seperti bisnis," ujarnya.

Berawal dari Osama Muda

Syrien Bürgerkrieg Kämpfer von Al Nusra Front
Anggota milisi Al-Qaida di SuriahFoto: picture-alliance/AP

Dokumen-dokumen peninggalan kelompok teror tersebut nyatanya memang menunjukan sistem birokrasi yang ketat, dipadu dengan jabatan seperti direktur utama, dewan direksi dan sederet departemen lain seperti SDM atau Komunikasi Publik.

Pakar meyakini, setiap cabang Al-Qaida memiliki struktur organisasi serupa dan hal tersebut menjadi faktor utama bagaimana kelompok teror itu bisa bertahan dan menyebar di berbagai negara. Memantau pengeluaran adalah bagian dari karakter Al-Qaida, kata berbagai pakar, termasuk Dan Coleman, agen senior FBI yang bertugas menyelidiki kelompok tersebut sebelum merajalela akhir 1990-an.

Kebiasaan itu diyakini berawal lebih dari tiga dekade silam, ketika Osama bin Laden mengambil studi ekonomi di King Abdul Aziz University di Arab Saudi. Osama muda kala itu sudah aktif ikut mengelola perusahaan konstruksi yang dimiliki ayahnya. Berbekal pengalaman bisnis itulah Osama mengembangkan struktur Al-Qaida.

Buku Kwitansi buat Djittiye

Setidaknya praktik keuangan ala kelompok teror tersebut meninggalkan kesan kuat pada Muhammad Djittiye, pemilik toko kelontong di Timbuktu. Dan komandan yang datang untuk membeli saus Mostar adalah Nabil Alqama, pemimpin Al-Qaida Komando Selatan Islam Maghribi di Afrika.

Djittiye bercerita, Alqama sejak saat itu sering mengunjungi kedainya untuk berbelanja. "Mereka meminta kwitansi untuk semua pembelian," kata pemuda 31 tahun yang mengelola toko di sebuah pasar beralas pasir di jantung Timbuktu itu, "bahkan untuk segelas kopi sekalipun."

Suatu hari, Djittiye bertutur, Alqama meminta pegawai toko untuk mencetak lebih banyak buku kwitansi. Ia pun menyanggupi. Buku berwarna hijau itu kini terletak di samping kassa. Belakangan, jika seorang pelanggan datang, Djittiye selalu menawarkan bukti pembelian - tidak seorangpun menerima kecuali sang komandan Al Qaida.

rzn/as (ap,afp,rtr)