1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Akhir Bagi Protokol Kyoto?

28 November 2011

Kota pelabuhan Durban di Afrika Selatan menjadi tuan rumah Konferensi Iklim PBB kali ini. Setelah KTT serupa di Kopenhagen dua tahun lalu, tema iklim tidak lagi menjadi pusat perhatian media. Padahal situasi tetap buruk.

https://p.dw.com/p/13IT9
Foto: frank peters-Fotolia.com

KTT Iklim di Afrika Selatan memutuskan masa depan Protokol Kyoto, yang disepakati tahun 1997 di Kyoto Jepang. Hingga kini, protokol tersebut adalah satu-satunya kesepakatan internasional yang berlaku untuk mewajibkan negara-negara dalam mencapai sasaran pengurangan emisi gas rumah kaca secara konkrit. Namun, Protokol Kyoto hanya memiliki sasaran pengurangan bagi negara-negara industri untuk kurun waktu 2008 hingga 2012. Setelah periode wajib pertama ini, masih belum ada sasaran selanjutnya.

Pro Kontra Protokol Kyoto

Uni Eropa dan negara-negara ambang industri dan berkembang seperti Cina, Brasil, serta Afrika Selatan ingin memperpanjang masa berlaku Protokol Kyoto. Sementara Jepang, Kanada dan Amerika Serikat ingin menggantikan Protokol Kyoto dengan kesepakatan iklim yang juga memberikan kewajiban bagi negara ambang industri untuk terlibat dalam mencapai sasaran iklim.

Penentang Protokol Kyoto merasa keberatan, bahwa kesepakatan tersebut dibatasi pada emisi dari negara-negara industri saja. Negara-negara ambang industri yang memproduksi emisi gas rumah kaca yang semakin besar, tidak akan bisa dicegah pertumbuhannya berdasarkan Protokol Kyoto.

Dürre in der Sahel Zone Naturkatastrophen Flash-Galerie
Kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan, salah satu dampak dari perubahan iklimFoto: picture-alliance/ dpa

Bumi Semakin Panas

Dengan atau tanpa Protokol Kyoto, penting bagi perlindungan iklim, bahwa dalam beberapa tahun mendatang, lebih sedikit emisi gas rumah kaca yang diproduksi. Untuk membalikkan kecenderungan tersebut, negara-negara di bagian selatan bumi juga harus lebih terlibat dalam perlindungan iklim. Ini menurut Sven Harmeling dari Germanwatch.

"Kita hidup di dunia yang berbeda dibandingkan 15 tahun yang lalu, saat Protokol Kyoto disepakati. Negara-negara ambang industri kini menjadi produsen gas emisi. Tidak lama lagi akan diikuti negara berkembang. Kini, negara seperti Jepang atau Amerika Serikat hanya mau menyetujui sesuatu, jika negara ambang industri juga memiliki kewajiban yang sama seperti negara industri," dikatakan Sven Harmelling.

Paling lambat setelah KTT di Kopenhagen dua tahun yang lalu, yang mana lebih dari 120 kepala negara gagal mencapai hasil yang konkrit, banyak aktivis lingkungan yang skeptis. Di satu sisi, mereka ingin membatasi pemanasan bumi hingga dua derajat. Namun, di lain pihak sasaran penurunan emisi yang hingga kini disepakati tidak akan mencukupinya.

Harmeling mengatakan, "Jika melihat kecenderungan saat ini, suhu bumi bisa meningkat 3,5 hingga 4 derajat. Ini akan menjadi bumi yang sangat berbeda. Dan ini bisa terjadi di dekade mendatang. Artinya, tekanan untuk melakukan sesuatu sangat besar dari sudut pandang ilmiah. Namun, keinginan untuk melakukan sesuatu berbeda-beda dan di sebagian besar negara sayangnya tidak cukup besar."

Harus Segera Bertindak

Karena kenaikan suhu tidak bisa dihindarkan, tema lain kerap menjadi fokus utama dalam perundingan internasional. Yakni, bagaimana negara miskin bisa membiayai penyesuaian diri dengan perubahan iklim? Bangladesh misalnya harus membangun tanggul agar tidak terjadi banjir karena kenaikan permukaan air laut. Setidaknya dalam masalah bantuan keuangan ada kemajuan. Mulai 2020 setiap tahunnya akan tersedia 100 milyar Dolar AS bagi negara-negara berkembang. Bagaimana bentuk bantuan dana tersebut akan dibahas di Durban.

Perwakilan Afrika seperti Mohamed Adow dari Christian Aid berharap, dalam KTT di Afrika Selatan akan mucul perhatian lebih bagi masalah benua yang menjadi korban terparah perubahan iklim. "Kami melihat musim kemarau dan musim panen yang tak kunjung tiba. Kami melihat warga yang kehausan dan kelaparan. Media melaporkan warga yang menjadi korban cuaca ekstrim. Apalagi yang masih ingin kita tunggu, jika kita sekarang sudah merasakan dampak perubahan iklim? Tidakkah sudah waktunya untuk menganggap serius tema ini?"

Para pakar lingkungan memperingatkan, perubahan iklim tidak terhenti hanya karena perundingan mengenainya tidak mengalami kemajuan.

Johannes Beck/Vidi Legowo-Zipperer Editor: Dyan Kostermans