1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ahok Keluar dari Gerindra

11 September 2014

Gubernur Jakarta memutuskan keluar dari Gerindra, setelah partai itu mendukung rancangan undang-undang kontroversial yang menghapus pemilihan kepala daerah langsung.

https://p.dw.com/p/1DAC4
Foto: Reuters

Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto yang kalah dari Joko Widodo dalam pemilihan presiden lalu, mendukung rancangan undang-undang kontroversial yang menghapus pemilihan langsung kepala daerah bagi gubernur dan walikota/bupati.

Para analis melihat langkah ini sebagai upaya para elit partai, menghentikan naiknya generasi baru kepemimpinan yang dianggap sebagai ancaman, sebagaimana yang terjadi pada fenomena Jokowi.

Wakil gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, yang akan mengambil alih posisi gubernur saat Jokowi dilantik sebagai presiden bulan depan, menyatakan keluar dari Gerindra sebagai bentuk penolakan atas dukungan partainya terhadap rancangan undang-undang yang menghapus Pilkada. (Baca: Indonesia Akan Hapus Pilkada)

“Pemimpin yang dipilih parlemen lokal bukan rakyat, akan lebih melayani kepentingan partai mereka, bukan kepentingan rakyat,” kata wakil gubernur, yang dikenal dengan ketegasannya dalam membersihkan birokrasi Jakarta yang semrawut.

“Partai saya mendukung rancangan undang-undang ini, yang bertentangan dengan hati nurani saya, jadi ya, saya mundur karena saya tidak bisa menjadi anggota partai yang baik,” kata dia.

Manuver kubu Prabowo

Rancangan undang-undang itu mendapat dukungan di parlemen, di mana enam partai koalisi Prabowo yang menguasai sekitar duapertiga kursi, mendorong pengesahan rancangan undang-undang kontroversial ini.

Pengunduran diri Ahok telah menyebabkan kegemparan di dalam partai, dengan sejumlah juru bicara Gerindra mengkritik Ahok yang dianggap tidak tahu berterima kasih, sambil mengatakan bahwa selama ini dia hanya sedikit memberikan kontribusi kepada partai. Prabowo sendiri menyatakan dirinya “terluka” oleh berita itu.

Presiden terpilih Joko Widodo yang dilihat sebagai maskot reformasi, mengkritik rencangan undang-undang itu sebagai sebuah pukulan besar bagi demokrasi.

Rancangan itu juga dilihat sebagai cara untuk menghalangi Jokowi, yang akan membutuhkan dukungan dari para pemimpin daerah dan parlemen untuk melaksanakan program kerjanya.

Indonesia melaksanakan pemilihan presiden pertama tahun 2004, dan menyusul kemudian melaksanakan pemilihan kepala daerah sejak 2005, sebagai bagian dari upaya desentralisasi kekuasaan yang selama orde baru hanya berpusat di Jakarta.

ab/hp (afp, ap, dpa)