1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aceh Masih Terus Bangkit dari Tsunami

cp/ap (dpa, ap)26 Desember 2013

Sembilan tahun pasca tsunami, Banda Aceh kembali menjadi kota yang ramai. Sebuah museum dan kapal besar yang tersapu ombak ke daratan menjadi pengingat bencana mematikan tersebut.

https://p.dw.com/p/1Aghj
Foto: AP

Kehidupan kembali normal bagi banyak korban yang selamat, namun masih banyak juga yang tidak memiliki rumah yang layak. Demikian yang dialami beberapa korban bencana tsunami Aceh tahun 2004.

"Saya tidak akan pernah melupakan hari itu. Pengalaman yang sangat menakutkan," tutur Nanda Suhada yang kehilangan ayah, kakak lelaki dan neneknya saat ombak raksasa menyapu permukiman mereka di Banda Aceh.

Perempuan berusia 29 tahun itu sekarang bekerja sebagai pemandu wisata di bekas kapal pembangkit listrik yang kini menjadi sebuah monumen tsunami dan daya tarik turis. Kapal seberat 2.600 ton itu terbawa sejauh 3 kilometer ke daratan oleh tsunami.

"Saya dapat bercerita ke pengunjung secara detail apa yang terjadi saat tsunami karena saya merasakan sendiri. Saya juga dapat hidup layak dengan bekerja di sini," kata Nanda.

Monumen kapal dikunjungi sekitar 500-1.000 orang setiap hari, termasuk turis asing, ungkapnya.

Lantai dasar Museum Tsunami: Setiap batu mewakili negara yang berkontribusi bagi upaya pemulihan
Lantai dasar Museum Tsunami: Setiap batu mewakili negara yang berkontribusi bagi upaya pemulihanFoto: Niall Macaulay

Membangun kembali Serambi Mekkah

Tsunami 26 Desember 2004 dipicu oleh gempa bumi besar di lepas pantai Sumatera, menewaskan sekitar 170.000 orang di Aceh dan menyapu bersih garis pantai sepanjang 800 km.

Kini ibukota provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan kota yang tumbuh berkembang, dengan bangunan-bangunan baru termasuk balai kota yang megah, hotel serta pusat perbelanjaan.

Museum Tsunami Aceh setinggi 4 lantai, dibangun tahun 2009, menjadi simbol pengingat bencana, dengan bentuk atap yang menyerupai ombak besar.

Respon terhadap bencana saat itu dipuji sebagai contoh sukses kerjasama internasional. Sejak itu, sudah ada lebih dari 130.000 rumah, 250 km jalan, 18 rumah sakit baru dan infrastruktur lainnya yang telah dibangun, menurut pemerintah kota.

Lebih dari 80.000 hektar lahan pertanian telah direhabilitasi atau dibersihkan untuk digunakan, dan 15.000 hektar kolam ikan telah dibangun.

Pemerintah lebih waspada

Tsunami Aceh mendorong pemerintah Indonesia untuk mengambil sejumlah langkah dalam mendorong kesiapan menghadapi bencana.

"Sejak tsunami, ada peningkatan luar biasa terkait kapasitas kami dalam menangani bencana," ujar Sutopo Nugroho, jurubicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang dibentuk setelah bencana tsunami.

Anggaran tahunan untuk kontrol bencana naik sepuluh kali lipat dalam lima tahun terakhir, dari 300 miliar Rupiah menjadi tiga triliun Rupiah, dan badan penanggulangan bencana daerah telah dibentuk di lebih dari 400 kabupaten di seluruh penjuru Indonesia.

Sebuah sistem peringatan tsunami canggih, yang dibangun dengan bantuan pemerintah Jerman, dapat mengeluarkan peringatan kurang dari lima menit setelah sebuah gempa bumi terjadi dan pelatihan tsunami digelar berkala di Sumatera.

"Masih ada permasalahan dalam meningkatkan kapasitas di tingkat kabupaten karena kurangnya pendanaan lokal," ungkap Sutopo Nugroho.

Masih belum punya rumah

Namun tidak banyak yang berubah bagi sejumlah korban tsunami yang selamat.

Dua puluh keluarga masih tinggal di barak sementara di desa pesisir Ulee Lheue karena mereka tidak mendapatkan rumah permanen.

"Tidak ada yang peduli pada kami meskipun kami korban tsunami," papar Burhan, salah seorang nelayan yang tinggal dalam gubuk kayu yang bobrok di Ulee Lheue sejak desa itu lenyap tertelan ombak.

Pemerintah telah membangun dermaga dan menyediakan layanan kapal feri yang menghubungkan Banda Aceh dan pulau Sabang. Sebuah danau kecil juga dibuat untuk piknik keluarga pada akhir pekan atau bersantai di kafe-kafe terdekat.

Jalanan yang menghubungkan kota dengan pelabuhan telah diaspal halus, berbeda jauh dengan gubuk kayu yang ditinggali Burhan dan para tetangganya.

"Kami seharusnya mendapatkan rumah-rumah baru tapi diambil orang lain," tutur Burhan. "Jadi kami berakhir di sini."

cp/ap (dpa, ap)